Pernyataan kontroversial Ribka Tjiptaning soal vaksin Covid-19 Sinovac sempat menghebohkan publik. Ribka terang-terangan menolak vaksinasi Covid. Alasannya, banyak kasus vaksinasi yang memiliki efek samping buruk untuk tubuh. Ribka dengan jelas menyebut vaksinasi polio dan kaki gajah sebagai contoh kasus. Namun argumentasi ini dibantah mentah-mentah oleh epidemiolog, dan menyebut ketakutan Ribka sebagai argumen tidak berdasar. 

Penolakan keras Ribka soal penolakan vaksin ini ia sampaikan saat rapat Komisi IX bersama Menkes Budi Gunadi Sadikin, Kepala Badan POM Penny Lukito, dan PT Bio Farma di DPR RI, Selasa (12/1/2021).  Sontak, hal ini sukses menjadi pelumas peredaran malinformasi dan menggiring opini publik. Dengan pandangan soal publik figur yang beropini serupa dengan isi berita bodong yang beredar di ruang percakapan Whatsapp keluarga, tentulah membuat masyarakat awam meyakini bahwa berita yang mereka terima adalah benar adanya. Bagaimana tidak? Sebelum Ribka yang jelas-jelas merupakan anggota DPR buka suara soal vaksin, beragam hoaks  seputar efikasi dan efek samping Sinovac ini sudah berputar beberapa waktu. Bukannya tidak boleh menolak vaksin apalagi dilarang berargumentasi, tetapi setidaknya bubuhkan fakta yang memadai jika ingin argumennya dinyatakan valid. “apa yang disampaikan pada rapat komisi IX itu memang agenda-agenda di DPR dalam komisi masing-masing dan biasanya sharing lalu memberikan pendapat dan meminta jawaban kepada pemerintah” kata Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad.

Hoaks di Indonesia sudah menyentuh tingkatan yang sangat tinggi, bahkan berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (KOMINFO) per tanggal 19 Oktober 2020 lalu, ada sekitar 1.016 berita hoaks terkait pandemi dan berita ini tersebar di 1.192 platform yang berbeda. Berangkat dari data-data yang disebutkan di atas, kita bisa sepakat bahwa momok hoaks sudah sepantasnya jadi musuh negeri. 

“itu kan hak dari masing-masing jadi beliau kan bisa saja menolak vaksin karena merk tertentu atau menolak vaksin secara menyeluruh” tambah Azis Syamsuddin.

Faktor pemicu penyebaran hoaks cukup beragam, tetapi yang paling krusial ialah rendahnya tingkat literasi. Berdasarkan data  yang dipublikasikan oleh United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dalam yang digelar tahun 2019, Indonesia meraih posisi kedua dari bawah soal literasi, dengan index minat baca hanya mencapai 0.001 persen, yang artinya perbandingan yang rajin dan malas membaca adalah 1:1000. Data Lembaga penelitian Nielsen menyebutkan penduduk Indonesia setiap hari dapat menghabiskan waktu berselancar di dunia maya selama lima jam 42 menit, browsing di ponsel selama tiga jam 33 menit dan dua jam 51 menit untuk bermedia sosial. Dalam kurun waktu selama itulah, ketimbang membaca masyarakat lebih senang mencari dan menyebar berita hoaks. 

Pendidikan memiliki peran penting dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, dan literasi adalah sebuah komponen yang kuat dalam pembentukannya. Literasi dan edukasi memiliki keterkaitan yang sangat erat, grafik keduanya berjalan beriringan. Semakin tinggi tingkat edukasi masyarakat maka akan tinggi pula lah tingkat literasi yang terbentuk.  Mengutip pendapat dari Roger Farr (1984) bahwa “reading is the heart of education”. Pernyataan ini memberikan pernyataan bahwa literasi dan pendidikan memiliki keterkaitan yang erat. Literasi bukan sekadar membaca,  tetapi juga memahami intisari. Mirisnya, yang marak terjadi belakangan ini adalah kegiatan membaca tanpa memahami. Asal baca judul, langsung sebar tanpa pikir dua kali, takut disangka jadul hanya karena tidak gesit dalam penyebaran isu hangat masa kini. Tanpa peningkatan mutu edukasi, mustahil rasanya tingkat literasi bisa dikategorikan memadai. 

Tingkat pendidikan masyarakat memengaruhi tingkat pemahaman mereka terhadap bacaan. Karenanya, tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tinggi tingkat edukasi yang ditempuh seorang individu, maka pembendaharaan kata yang dimiliki juga akan semakin bervariasi. Seringkali pemberitaan menggunakan istilah teknis nonpopulis, hal ini memicu penyebaran berita hoaks tanpa sempat diverifikasi. Bagaimana ingin melakukan verifikasi kalau kata dasarnya saja tidak mampu dipahami?