Dan 60 juta penduduk
Indonesia memiliki gadget, atau urutan kelima dunia terbanyak kepemilikan
gadget. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018
jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan
jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif
smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Sayangnya, meski minat baca
buku sangat rendah tapi data wearesocial per Januari 2017 mengungkap orang
Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Tidak heran
dalam hal kecerewetan di media sosial orang Indonesia berada di urutan ke 5
dunia. Jakarta lah kota paling cerewet di dunia maya karena sepanjang hari,
aktivitas kicauan dari akun Twitter yang berdomisili di ibu kota Indonesia ini
paling padat melebihi Tokyo dan New York. Laporan ini berdasarkan hasil riset
Semiocast, sebuah lembaga independen di Paris.
Salah satu yang menakjubkan,
Warga Jakarta tercatat paling banyak menuangkan segala bentuk unek-unek di
Twitter lebih dari 10 juta tweet setiap hari. Di posisi kedua peringkat dunia
kota teraktif di Twitter ialah Tokyo. Menyusul di bawah Negeri Sakura ada warna
Twitter di London, New York dan Sao Paulo yang juga gemar membagi cerita.
Bandung juga masuk ke jajaran kota teraktif di Twitter di posisi enam. Dengan
demikian, Indonesia memiliki rekor dua kota yang masuk dalam daftar riset
tersebut.
Jika dibayangkan,
ilmu minimalis, malas baca buku, tapi sangat suka menatap layar gadget
berjam-jam, ditambah paling cerewet di media sosial. Tidak heran jika Indonesia
jadi sasaran empuk untuk info provokasi, hoax, dan fitnah. Kecepatan jari untuk
langsung menyebarkannya bahkan melebihi kecepatan otaknya, padahal informasinya
belum tentu benar. Lewat gadget memang banyak informasi fakta
yang beredar, sayangnya informasi yang mereka dapatkan juga bukan berasal dari
media yang bisa dipercaya, melainkan dari media sosial yang lebih banyak
dipenuhi oleh opini, bukan fakta. Bahkan sebaliknya, mereka malah percaya
dengan portal-portal fake news dan akun-akun penyebar hoax tak bertanggung
jawab itu.
Kita hidup di Era Post-Truth!
Post-Truth ini disebut juga seperti ‘berkaitan dengan atau merujuk kepada
keadaan di mana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam pembentukan opini
publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi. Di era Post-Truth, orang tidak
lagi mencari kebenaran dan fakta melainkan afirmasi dan konfirmasi dan dukungan
atas keyakinan yang dimilikinya. Sekarang banyak situs opini
yang bias, menyerang, dan tendensius pada satu kelompok, mereka bisa mengambil
hati dan perasaan pembaca dengan story-telling yang mereka buat dan kebenaran
menjadi tidak penting.
Kredibilitas
nama medianya apalagi, sudah tidak dilihat oleh masyarakat kita yang malas baca
dan cerewet tadi. Ketika media mainstream justru berseberangan faktanya dengan
media opini tersebut, masyarakat justru malah berbalik menjadi tidak percaya
terhadap media-media bernama besar itu. Jadi yang mengganggu bukan hanya media
sosial berisi hoax tapi juga media fake news yang menyebarkan opini yang
terpolarisasi.
Jadi apa yang harus
dilakukan?

0 Komentar