JERAT INDONESIA, GARUT (6/21) – Indonesia Merupakan Negri Agraris, dimana sebagian besar wilayah Indonesia adalah wilayah pertanian, atau wilayah penghasil bahan pokok, salah satunya beras. Oleh karenanya, tidak heran bila sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki mata pencaharian sebagai petani.
Namun semakin sini, profesi petani kian hari kian berkurang. Bukan karena tak ada lagi lahan untuk diolah, melainkan banyak hal lain yang ikut menjadi alasan untuk tidak menjadi seorang petani. Namun apa jadinya jika profesi atau mata pencaharian sebagai petani musnah pada tahun 2063?.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengungkapkan bahwa Indonesia dikhawatirkan pada 40 tahun mendatang akan kehilangan sepenuhnya warga yang menjalankan profesi sebagai petani. Hal ini merujuk kepada data yang menunjukkan penurunan drastis masyarakat Indonesia yang bekerja di sektor pertanian.
Pada tahun 1976 pernah diambil riset, dimana ketika itu masyarakat Indonesia yang bekerja di sektor pertanian mencapai 65,8 persen. Namun, pada tahun 2019 dari Badan Pusat Statistik mencatat bahwa jumlah tersebut kini hanya menyisahkan 28 persen.
“Apabila kita menggunakan tren ini dalam perhitungan linear, tentu saja hasilnya cukup mencengangkan, mungkin di 2063 tidak ada lagi yang berprofesi sebagai petani seperti yang kita kenal. Mudah-mudahan hal ini bisa kita lawan,” ujar Plt Direktur Pembangunan Daerah Kementerian PPN/Bappenas, Mia Amalia dalam webinar, seperti dikutip Kompas.com.
Selain akan kehilangan sebuah profesi tentunya kehilangan petani akan memberikan efek yang sangat besar pada sektor sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Dimana kita akan memerlukan asupan atau import bahan pangan dari negara lain. Tentunya dengan ini Indonesia akan semakin dikenal sebagai negara yang konsumtif, yang memiliki dampak buruk pada perekonomian.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Pertanian (BPPSDMP) Pending Dadih Permana menilai, gejala tersebut terjadi akibat adanya pandangan mengenai usaha di sektor pertanian yang tidak mampu memberikan keuntungan ekonomi. Hal itu menjadi salah satu penyebab generasi pemuda tidak mau terjun untuk menggeluti usaha pertanian.
"Saat ini memang diciptakan pandangan terhadap generasi muda bergerak di sektor industri lebih menguntungkan. Nantinya Indonesia akan kehilangan petani," ucapnya, di Jakarta, Kamis (19/5/2016). dilansir di https://tirto.id/
Lebih lanjut, masih menurut Bappenas, ada beberapa indikator yang menjadi picu dikeluarkannya prediksi tersebut, yakni;
1) Masyarakat lebih berminat bekerja di sektor non-farm seperti sektor jasa dan industri ketimbang menjadi petani
Klaim ini kemudian diperkuat dengan data Bappenas yang menyebutkan, jumlah pekerja di sektor jasa mengalami kenaikan dari 23,6 persen tahun 1976 menjadi 48,9 persen pada tahun 2019. Begitu pun jumlah pekerja di sektor industri, dari 8,9 persen di tahun 1976 naik menjadi 22,5 persen tahun 2019.
2) Konversi/Alih fungsi lahan
Dalam waktu 6 tahun saja, luas lahan pertanian menyusut sampai 300 ribu hektar. Adapun penyebab lainnya adalah disebabkan oleh urbanisasi, alih profesi, penyusutan lahan pertanian dan seterusnya.
Rasio pekerja pertanian yang bekerja di sektor pertanian 65,8 presen pada tahun 1976, namun pada tahun 2019 rasio ini hanya tinggal 28 persen saja.
Menurut mereka, kedua alasan di atas merupakan penyebab yang paling dasariah sehingga ketiadaan profesi petani di tahun 2063 sangat mungkin terjadi. Dilansir di kompas.com
Lalu, ada juga beberapa faktor lain yang menjadi penyebab penyusutan profesi petani.
1. Bukan Profesi Menjanjikan
Pernahkah kamu bercita-cita menjadi petani? Kalau kamu tanyakan cita-cita ini ke teman kampusmu, mungkin nggak ada satu persen yang mengiyakan. Faktanya, petani bukan profesi menjanjikan dan banyak anak muda yang lebih meminati sektor selain pertanian sebagai penghidupan.
Sebagai contoh, pekerja di sektor jasa yang pada 1976 sebesar 23,57 persen pada 1976 menjadi 48,9 persen pada 2019. Alasan kenaikan jumlah ini sederhana; bayaran di sektor jasa lebih menjanjikan ketimbang menjadi petani.
2. Berkurangnya Lahan
Alasan lain yang membuat jumlah petani semakin berkurang adalah berkurangnya lahan hijau. Ladang dan sawah potensial nggak sedikit yang berubah menjadi perumahan, pabrik, kebun sawit, dan lain-lain, lantaran petani tergiur memperoleh easy money yang besar dengan menjual lahannya.
Alih fungsi lahan ini tentu saja nggak murni kesalahan petani. Regulasi yang kurang oke terhadap alih fungsi tersebut, anggapan bahwa menjadi petani nggak menjanjikan kekayaan, dan keinginan petani untuk mengubah nasib menjadi beberapa hal yang membuat petani merelakan lahannya dimiliki orang.
3. Perubahan Iklim
Petani adalah profesi yang berisiko; ini adalah fakta! Nggak cuma terhimpit regulasi yang buruk dan harga jual yang rendah, mereka juga terkendala perubahan iklim. Cuaca yang semakin sulit diprediksi memengaruhi cara menanam, sehingga bertani pun jadi semakin sulit dilakukan.
Dengan risiko sebesar itu, siapa yang bakal mempertaruhkan masa depan kita dengan memilih profesi sebagai petani?
Data Food Sustainability Index yang dikeluarkan tim Economist EIU dan Barilla Center for Food and Nutrition membuktikan bahwa Indonesia hanya ada di peringkat ke-60 dalam bidang keberlangsungan sistem pangan. Angka ini jauh di bawah Etiopia yang ada peringkat ke-27. Dikutip dari Inibaru.id
Namun semua ini baru perkiraan, masih banyak peluang untuk bisa mengubah terkaan terkaan ini. Selama kita yakin dan terus berusaha untuk merubahnya, maka semua itu akan menjadi kenyataan pada waktunya.
Disamping itu, kepala BPPSDMP Pending Dadih Permana, menilai saat ini ada beberapa negara lain yang tidak ingin Indonesia maju dan berdaulat di sektor pertanian, sehingga menciptakan pandangan yang salah terhadap generasi muda. "Kalau generasi muda kuat, ini merupakan kekuatan yang masif (untuk pertanian Indonesia)," ujarnya.
Oleh sebab itu, kata dia, harus ada upaya perencanaan yang intensif untuk dapat meningkatkan minat generasi mudah terhadap sektor pertanian, serta tidak membiarkan hal tersebut berjalan begitu saja.
Untuk mengatasi hal tersebut, kata Pending, pada tahun ini pihaknya akan mengembangkan program Penumbuhan Wirausahawan Muda di Bidang Pertanian guna meningkatkan minat generasi muda terhadap sektor pertanian.
"Untuk menumbuhkan jiwa berwirausaha perlu dilakukan pembekalan mental wirausaha, membuka kesempatan berwirausaha seluas-luasnya dan membantu mempermudah akses terhadap aspek pendukung dalam usahanya," tuturnya.
Melalui program ini, kata dia, setiap kelompok akan mendapatkan bantuan modal sebesar Rp35 juta sebagai pendorong awal. "Nantinya kelompok-kelompok wirausaha muda ini akan kita hubungkan dengan lembaga pemberdayaan usaha yang lain," imbuhnya.
Pending menyatakan, saat ini program tersebut sudah melibatkan 14 perguruan tinggi guna mendukung program Penumbuhan Wirausahawan Muda di Bidang Pertanian tersebut.
Selanjutnya, kata dia, sebanyak 2.000 mahasiswa siap dilibatkan dalam program tersebut atau sekitar 500 kelompok jika setiap kelompoknya beranggotakan dua hingga tiga orang.
"Kelompok-kelompok wirausahawan muda ini nantinya diarahkan mengembangkan usaha dari hulu hingga hilir dan saling terkait satu kelompok dengan kelompok lainnya, bukan justru bersaing atau saling mematikan," tegasnya.
Dengan begitu, semoga segala upaya yang kita dan pemerintah lakukan, mampu menghapus statement diatas “Profesi Petani Akan Hilang di Tahun 2063” bahkan jika bisa berubah statement nya menjadi “Profesi Petani Akan Terus Jaya di Negeri Agraris ini”.
0 Komentar